BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Minggu, 05 Desember 2010

cerpen


“Aish…”

Waktu itu kau katakan bahwa kau telah putus dengannya. Si lelaki keturunan Brunei Darusslam itu. Tapi saat itu juga, setelah makan malam, kau tancapkan gas hingga 100 km/jam hanya karena si lelaki Brunei itu mengobrol dengan sahabat kecilmu yang juga duduk di sebelahmu. Lucu!

Lalu malam itu juga kau mendiamkan sahabatmu itu hingga berhari-hari sampai berbulan-bulan. Anehnya lagi, kau dengan sikapmu yang palsu, berpura-pura tidak terjadi apa-apa, bahkan tak ingin menjelaskan apapun pada sahabatmu itu, hingga kau menemukan mainan lelaki yang baru lagi.

Kali ini, sudah diduga, kau tak akan pernah mengenalkan lelaki Indonesia tulen yang kaya raya itu dengan sahabatmu lagi. Bukankah kau cukup pintar untuk belajar dari pengalaman?

Sampai akhirnya kau berlebihan. Demi si lelaki tulen yang gedongan itu, kau melepaskan semuanya. Melepaskan teman- temanmu, sahabatmu, orang tua, agama, norma, bahkan pakaianmu. Kau bukan lagi seorang pengahafal surah Yasiin seperti yang dikenal oleh si Brunei. Kau bukan lagi sahabat dari sahabat polos yang tak tahu jalan pikiran sempitmu. Kau bukan lagi seseorang yang dicintai oleh semua orang. Yang mencintaimu hanya dia, lelaki bermulut penuh cinta bagaikan busa di lautan.

Lalu kau sekarang di sini? Menyedihkan.

Duduk di sebuah ruang sempit berukuran 2 x 4 meter dengan lampu temaram tanpa tegangan listrik stabil. Ditemani sebuah kursi, meja, lemari kayu, dan dipan besi dengan kasur tipis serta bantal lapuk di atasnya. Berantakan. Berpakaian selembar kain yang bermodel layaknya baju mainan Barbie anak jalanan yang tak menutupi aurat, seperti yang sering kau kenakan dulu.

Sesekali mengerdipkan kelopak matamu perlahan, tersenyum dan datar kembali. Mulai hari itu, saat kau memutuskan menaggalkan semuanya. Kau merasa mendapat hidup yang baru. Kau menikmati segala kenikmatan dunia yang kau inginkan. Tak ada lagi sahabat kecil yang sekamar denganmu dan yang selalu mengingatkanmu. Membuangnya layaknya sampah telah jadi keputusanmu sejak hari itu.

Sampai dua tahun setelah kau menempuh hidup barumu yang tak resmi. Orang tuamu bahkan kekeringan air mata karenamu. Kau bertengkar hebat dengannya. Di pinggir jalan, memilih sebuah jembatan yang cukup sepi. Berkata perlahan padanya bahwa kau ingin dinikahi secepatnya. Mana mungkin, lelaki gedong yang berengsek seperti dia bersedia? Menikah dengan gadis tak perawan dan tak beragama lagi sepertimu? Mustahil.

Beradu mulut, yang dibarengi air yang memaksa untuk keluar dari sela bola matamu. Dia ngotot, begitu juga kau. Hingga berkahir dengan sebuah keputusan yang membuatmu tertunduk. Mengiyakan permintaan bejatnya sekali lagi, meniadakan penyebab dari pernikahan kalian pada dokter kandungan ilegal.

Mulai saat itu, sakit yang teramat sangat kau rasakan dalam hidupmu, mengiris-ngiris rahim dan kemaluanmu tanpa jeda. Meminta pertanggungjawabanmu sebagai wanita yang masih punya air mata untuk ditumpahkan. Tak ada lagi kehidupan untukmu. Tak ada orang tua yang ada di sampingmu. Kau bahkan tak tahu bagaimana reaksi mereka jika kau menceritakan yang sebenarnya. Tak ada lagi lelaki gedong yang kau banggakan. Hanya ingin menemui sahabatmu itu. Hanya terpikir dengan sahabat yang kau buang dua tahun lalu. Hanya ingin melihatnya, memeluknya, menangis di depannya, menatap matanya yang teduh, sekamar lagi denganya dan bercerita menjelang menutup mata di sampingnya.

Sahabatmu tak terdeteksi batang hidungnya. Sahabat yang kau pilih sejak sekolah menengah itu dengan mudah kau tinggalakan demi lelaki yang tak jelas lari kemana. Demi hidup baru yang kau anggap lebih menyenangkan. Lalu kini kau mulai mencarinya. Sahabat yang ada setiapa kali kau sedih atau suka. Kau mengingat memori lama tempat tinggalynya, tapi entah sudah pindah kemana, tak ada nomor hape, tak ada account di jejaring sosial. Kau ketakutan, sendirian. Di dunia yang tak sama sekali kau kenal.

Hingga kau lelah. Ingin sekali menumpahkan segala sampah yang ada pada dirimu. Ingin sekali bertemu dengannya hingga setiap malam bermimipi tentangnya. Mimpi tentang masa lalu kau dan dia saat tertawa berjalan di koridor sekolah saat kau lulus. Tertawa saat kau dan dia tidur dia atas satu dipan melihatnya menggambar burung jelek di atas udara. Tertawa saat kau dan dia makan bersama hanya dengan sambal di tenpat perantauan. Kau merindukan itu. Kau ingin bertemu denganya, hanya dia, sahabatmu.

Kau ingat saat kau mengirimkan sms yang terakhir untuknya. Bahwa kau ingin dia tak lagi mencampuri hidupmu. Bahwa kau tak lagi ingin satu kos dengannya. Dia mencarimu, di kampus, di kos, di setiap rumah teman dekatmu. Kau melihatnya, mencarimu dengan kalang kabut di kampus, bersembunyi di kejauhan, kau menghindar. Kau melihatnya saat ia bertanya pada temanmu di depan pintu, bersembunyi di balik jendela, kau menghindar. Kau menerima, pesan e-mail yang berulang kali dia kirimkan pada account-mu, kau hapus dengan sadisnya.

Kini semua orang berubah menjadi dia di matamu, “Aish, Aish!!”, kau panggil nama itu pada semua orang yang kau temui. Wajahnya ada dimana-dimana setiap kali kau membuka mata. Belum lagi suara tanggis bayi yang sering kau dengar di kamarmu sejak kau menghancurkannya. Atau darah yang kau lihat mengalir dari selangkanganmu. Membuatmu lemas.

Hingga kau ada di sini. Kau lelah mengatakan bahwa kau tak gila. Kau hanya ingin bertemu Aish. Hanya di yang bisa menghentikan suara bayi yang menangis di kamarmu. Hanya dia yang bisa membantumu membersihkan darah yang berceceran di tubuhmu, hanya dia yang bisa memelukmu dan menghapus air matanmu. Kau hanya ingin bertemu Aish dan membiarkannya melihat keadaanmu. Membiarkannya kembali padamu lagi, seperti dulu. Kau mengatakan itu berulang kali pada mereka yang menyeretmu, mengikat tangan dan kakimu, menyakiti tubuhmu dengan jarum suntik, kau telah mengatakannnya berulang kali, mereka tetap tak mau dengar.

***

Aku masih ada di sekitarmu, aku melihatnmu menangis di jembatan malam itu. Aku tahu sesuatu yang selama ini aku takutkan benar terjadi padamu. Aku melihatmu dari balik kaca mobilku yang berjarak 10 meter dari kau dan Edi. Aku menangis, bersamamu. Merasakan kesendirianmu saat itu. Aku ingin menemuimu, saat itu juga. Ingin memelukmu, menghapus air matamu dan menghajar Edi di depan matamu. Mengatakan padamu untuk meninggalkan lelaki sialan itu.

Tapi saat itu aku teringat apa yang kau katakana padaku. Aku ingat saat melihatmu melintas di balik tembok dan menjauhiku. Teringat saat melihat bayanganmu yang ada di balik jendela. Teringat betapa kau telah berbuat kejam padaku. Membuatku hilang tanpa arah, kalang kabut, bingung dan sendirian. Sedangkan kau bersenang-senang dengan lelaki itu. Lelaki yang juga pernah meniduriku. Kenapa kau tak percaya padaku, aku benci padamu saat itu. Saat kau menuduhku berbohong dan mengira aku ingin merebutnya dariku. Aku benci padamu!

Aku ingin kau menderita, seperti aku. Aku ingin kau merasakan kesendirian yang mengeitariku setiap kau tidak ada. Aku ingin kau menderita, bahkan lebih menderita dibanding aku.

Aku senang kau hamil, karena aku tahu lelaki itu pasti akan meninggalkanmu. Menyisakan sakit yang luar biasa pada tubuhmu. Lalu saat itu mulai aku yang kan melukai jiwamu. Aku melihatmu saat kau mencariku di rumah lamaku. Aku biarkan kau sendirian, supaya kau tahu bagaimana rasanya sendirian tanpa aku. Seperti aku yang sendirian tanpa kau. Aku senang mendengarmu memanggil orang lain dengan namaku. Supaya kau juga merasakan betapa malunya aku saat memanggil orang lain dengan namamu.

Aku ingin kau merasakan deritaku. Saat mobil yang kukendarai meremukkan tulang-tulangku. Itu Karena aku memikirkanmu, memikirkan bagaimana nasibmu tanpa aku. Memikirkan bagaiman nasibku tanpa kau.

Aku ingin melihatmu menderita terbaring sendirian tak berdaya. Dengan tetap memikirkanku. Seperti aku yang memikirkanmu hingga akhir nafasku. Aku ingin kau tak akan bisa melihatku hingga akhir nafasmu pula. Seperti aku yang ingin sekali melihatmu hingga ajal menjemputku.

Aku senang, karena kau telah mengalami seluruih penderitaan yang aku alami. Sampai kapanpun kita kan mengalami hal yang sama dalm hidup ini. termasuk juga saat ini. Aku ingin kau mati tidak tenang. Seperti aku yang kini menemanimu di kamar ini. Duduk di sampingmu dalam satu dipan seperti dulu. Walau kau tak merasakan. Menatap wajahmu yang pilu, walau kau tak bisa melihatku. Aku ingin kau mati, mati tidak tenang karena tak bisa melihatku lagi. Karena hanya itu yang bisa memebuat kita kembali bersama, seperti dulu. Sahabat sampai mati.

Jogja, Des 2010

0 komentar: