BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Minggu, 05 Desember 2010

cerpen merapi

Kawan Sepermainan

“Ceritakan padaku sebuah cerita!” Pintanya.

Lalu aku terdiam. Mengingatnya kembali.

Kalian boleh panggil aku Ade. Dulu orang sering memanggilku Bendot. Sebenarnya rindu juga dipanggil dengan nama itu. Aku juga senang dipanggil dengan nama itu. Semacam panggilan kesayangan dari orang- orang tersayangku. Tapi sekarang bukan lagi. Panggilan itu memang aku rindukan, tapi membuatku sakit setiap kali mendengarnya. Makanya, kalian panggil saja aku Ade.

Kalian pasti tahu Merapi, bukan? Gunung yang paling aktif di dunia itu sempat menjadi pusat perhatian dunia lima tahun lalu. Tepatnya 26 Oktober, akhir 2010.

Kalian tahu, mengapa aku ada di sini? Tempat ini dulu kampung halamanku. Tujuh kilometer dari puncak gunung megah ini. Masih teringat jelas apa yang terjadi di tempat ini lima tahun lalu.

Aku lahir di sini, bersama gunung itu. Bapakku juga, pamanku, sepupuku, begitu juga kakek dan buyutku. Dan aku akan tetap di sini, bersama gunung ini. Dengan caraku sendiri, membersamainya. Menghirup udara dari pohon-pohon besar di sini. Meminum air dari mata airnya. Bermain diantara pepohonan dan pasir di gunung ini. Tanah kelahiranku.

Aku masih ingat sewaktu berjalan di pagi buta, menyambut mentari yang menyembul dari gunung ini. Menyambut dan tersenyum pada gunung yang gagah di mataku. Pasir hitam yang ada di sisinya memantulkan cahaya surya sampai batu- batu yang ada di kakiku. Menemaniku menyusuri jalan berbatu menuju sekolah dasar yang sederhana di kaki gunung ini.

Jujur saja, aku sangat mengagumi gunung ini. Mengagumi keindahnnya yang menyilaukan. Mengagumi keangkuhannya pada keraton dan ratu pantai selatan. Mengagumi raungannya saat sedang marah atau sakit. Aku mengaguminya sampai detik ini. Mengaguminya bahkan setelah yang ia lakukan padaku. Termasuk malam itu.

Merapi berstatus ‘WASPADA”. Aku sudah dengar kabar itu. Aku juga tidak tinggal diam dan langsung menuju kampung halamanku. Di sana sudah berkumpul seluruh keluarga. Aku senang melihat semua berkumpul di rumahku. Melihat wajah mereka yang bercanda riang dalam suasana yang cukup mencekam. Kami memang hanya berkumpul. Tidak segera pindah ke rumah orang lain yang berada di kaki gunung yang lebih bawah. Bukannya malas mengemasi barang-barang yang sulit dikemas atau karena takut meninggalkan sawah, kebun dan hewan ternak yang melimpah di tanah buyutku ini. Bukan pula karena membangkang pada perintah pemerintah yang bubrah, melainkan semata- mata karena kami sudah terbiasa dengan kelakuan teman kami yang satu ini.

Gunung yang cukup terkenal di dunia itu sudah aku anggap sebagai teman. Aku bahkan menganggapnya sebagai manusia. Dia memiliki tubuh dan jiwa, dia juga hidup dan bernafas. Dia memiliki tubuh yang cukup kekar dan gagah, mana mungkin dia tidak marah jika ada yang mencubit tubuhnya atau bahkan berusaha melukai tubuhnya itu. Dia juga memiliki jiwa yang lembut sekaligus tegas. Ia akan bersikap lembut pada orang yang baik padanya, tapi ia juga akan sangat bersikap tegas bahkan mungkin marah pada orang yang berniat buruk dan berusaha memanfaatkannya untuk hal yang buruk.

Ia juga bisa sakit, ia paling sering bersendawa atau terbatuk-batuk. Kalau sudah batuk-batuk seperti itu, aku langsung pulang ke kampung halamanku. Kadang alasannya bukan karena khawatir atau bagaimana, tapi lebih karena aku ingin melihat seluruh keluarga berkumpul di rumahku. Dulu pun aku sempat berpikir untuk berterimaksih pada teman gagahku itu. Aku terkadang senang saat ia sedikit sakit atau menghembuskan nafas panasnya yang membumbung di udara, karena dengan itu seluruh keluargaku akan berkumpul di rumah. Sekedar berjaga-jaga dan reuni keluarga besar kami yang riuh.

Kalian tahu? Rasanya luar biasa saat melihat seluruh keluarga berkumpul dalam satu rumah? Ada anak kecil yang berlarian, para simbah yang hanya duduk diam di kursi sambil melihat anak cucunya duduk lesehan di bawah. Melihat TV atau sekedar mengobrol membicarakan ternak atau harga pasar saat itu. Lalu aku datang, biasanya di malam hari, membuka pintu rumah, disambut seluruh wajah mereka yang tersenyum padaku, menyambutku. Sungguh, euforia yang luar biasa. Yang mampu membuatku bertahan hingga saat ini, mampu membuatku bangun dari tidurku dan bersemangat setiap hari hingga aku tertidur lagi. Hanya kenangan dari wajah mereka. Hanya itu.

Waktu itu sakitnya cukup parah, sepertinya sakit kronis yang menjangkiti tubuh dan jiwanya. Tubuhnya sakit, juga perasaanya. Dia marah dan mengamuk. Dia tak lagi mengenal lawan atau kawan. Dia bahkan tak mengenaliku lagi! Aku juga tak mengenali dia lagi! Aku pun marah padanya saat itu. Baru dua jam aku kembali ke kosanku di tengah kota Jogja. Dia telah merubah statusnya menjadi “AWAS”. Aku sedikit terkejut. Aku melihatnya dari jarak 30 km dari balkon kos-ku.

Aku menatapnya tajam, dia diam saja, bahkan tak menoleh ke arahku. Dia memalingkan wajahnya dan tak membalas tatapan mataku. Saat itu aku tahu, ada yang menyakiti hatinya, dia kesal juga marah. Ingin balas dendam, tidak lagi seperti temanku. Bukan teman yang menemaniku bermain saat kecil dulu. Dia juga sudah tumbuh dewasa sepertiku. Dia sekarang sudah bisa sedih, bisa marah, dan balas dendam.

Sungguh sakit rasanya jika kalian merasakan juga. Kehilangan sahabat yang kalian kenal sejak kalian lahir. Sahabat yang selalu kalian lihat saat bermain, tidur, mandi, mencuci pakaian, makan, dan saat kalian pergi berpetualang. Lalu tiba-tiba sahabat itu berubah, pergi dan tak ingin menyapamu lagi! Aku kecewa. Aku tahu ia menyimpan sesuatu di hatinya. Aku ingin mendengarnya mengeluh seperti biasa. Tapi ia memilih menyimpannya, membiarkan emosinya memuncak terhadap semua orang. Saat itu, waktu aku melihatnya dengan mata telanjang, aku sudah tahu, aku mulai gemetar. Mulai sadar, kali ini dia tidak main-main.

Aku segera turun dari balkon, mengambil tas di kamar. Pukul 15.48. Aku ingin melihat keluargaku di sana. Aku tahu mereka tidak akan turun hanya dengan batuk itu. Mereka pasti tidak menyadari kemarahan yang dipendam Merapi jika tak melihat wajahnya. Meraka pasti tidak tahu sehabatku itu sedang murka. Mereka pasti masih di rumah. Aku melaju dengan kecepatan 80-100 km per jam. Menuju rumahku, menuju keluargaku.

Sempat aku dihalangi beberapa petugas yang menjaga di pinggir jalan. Aku menolak, ku katakana pada mereka keluargaku masih di atas. Mereka tetap melarangku, menghardikku. Aku ngotot di atas motor, tak juga didengarkan, katanya demi keselamatanku. Masa bodoh! Kataku. Mereka bilang, biar mereka saja yang menjemput mereka. Bagaimana caranya jika tanpa aku, mereka bahkan tak tahu dimana rumahku. Aku beradu mulut, dianggap keras kepala dan bodoh. Tapi aku tahu bukan mereka yang sanggup menghalangiku. Satu- satunya yang bisa menghentikanku hanya sahabat kecilku, Merapi, yang sedang mengamuk.

Aku terus melaju motor menuju rumah, tak menghiraukan mereka mengikutiku dari belakang atau tidak. Hanya ingin melihat mereka, keluargaku selamat. Entah hanya perasaanku saja yang kalut atau bagaimana. Aku merasa suasanya di sekitarku mulai gelap, entah mendung atau abu vulkanik yang membumbung. Saat aku mendengar bunyi gelegar besar yang diperdengarkan oleh benda megah yang sedang kudaki. Aku tidak berhenti, justru semakin kencang memaju motorku. Tiba- tiba aku disergap asap putih layaknya asap pembakaran sampah, melihat beratus meter di depanku asap hitam- kelam dengan ketinggian puluhan meter siap menggulung tubuhku. Aku menghentikan motorku, masih teringat keluarga yang ada di atas sana. Tapi rasa takut merasuk dalam dadaku, berdesir, gemetar, aku mungkin sudah gila berada di sini. Aku seperti melihat tangan-tangan sahabatku itu, tangan-tangan malaikat Izrail yang ingin mencabut nyawaku. Akhirnya aku bisa merasakan sangat dekat dengannya setelah sekian lama berteman. Merasakan sedikit hawa hangat yang mulai menyentuh kulit dan mataku, perih sekali. Tak sempat lagi berpikir, turun dari motor dan masuk ke lubang kecil pinggir jalan. Sangat cepat, dan semua menjadi gelap.

Malam itu ia meluapkan amarahnya, menyapu rata kampungku, keluargaku.

Saat terbangun, aku telah berada di sebuah ruangan yang sangat ramai. Samar-samar kulihat banyak orang berlalu lalang di sekitarku. Semua yang kulihat merintih kesakitan. Tubuhku tak terasa ada di tempatnya, sulit menggambarkan rasa sakit waktu itu. Aku mengingat kembali yang terjadi padaku. Aku ingat saat melompat ke dalam selokan kecil, merangkak buta ke dalam hingga tak melihat cahaya dan terpejam.

Aku masih ingat tentang keluargaku. Aku masih merindukan mereka, wajah meraka. Bagaimana nasibnya?

Aku masih di tempat yang sama. Sampai dikunjungi keluarga jauh di Purwakarta. Belum tahu kabar mereka. Waktu aku dengar sahabatku itu mengamuk lagi mengibas-ngibaskan nafas panasnya ke segala arah. Meminta 120 nyawa manusia. Belum juga tahu nasib mereka.

Luka bakar 30% di sekujur tubuhku. Hingga aku tahu, kehilangan 12 anggota keluarga. Termasuk orangtua, saudara, sepupu, keponakan, simbah, dan teman kampungku. Yang wajahnya pun tak bisa dikenali lagi. Hanya suasana terakhir saat mereka menyambutku pulang. Itu saja. Kini aku hidup, dengan kenangan wajah mereka, euforia saat membuka pintu, semangat saat melaju motorku, juga kenangan pelukan hangat dari keponakana kecilku.

Kini aku berdiri di mantan kampung halamanku. Tapi bukan lagi untuk menemui keluarga tersayangku. Kini hanya dengan seorang temanku dalam rangka pengamatan. Siapa lagi jika bukan kawan lamaku. Bukan lagi sebagai mahasiswa gila yang menerjang- menantang nafas panas kawanku itu, melainkan meneliti lebih dalam sifat asli teman yang kutantang dulu.

Aku melihat wajahnya, dari sela-sela pohon tempatku berdiri. Tidak lagi seperti lima tahun lalu. Ia tersenyum padaku, atas tingkah jahilnya lima tahun lalu. Ia tak perlu minta maaf padaku, bahkan aku tak pernah menggangapnya bersalah. Aku pun membalas senyumannya.

“Ayolah, ceritakan padaku sebuah cerita!” Pintanya lagi.

Aku tersenyum melihat wajah teman yang sedari tadi berdiri di sampingku. Menungguku bercerita tentang kejadian lima tahun lalu. Aku menggeleng. Kembali menyusuri punggungmu yang tegap. Tak ingin menceritakan hal buruk tentangmu. Biar hanya kalian yang tahu.

Jogja,

Nov 2010

0 komentar: