BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 21 Desember 2010

renunganku

D.I.L.A.R.A.N.G P.R.O.T.E.S

Entahlah,

Apa dari maksud semua ini

Mengapa aku memiliki indera ini

Indera pembaca hati, paradigma tersembunyi

* * *

Dari grafik di atas, dapat diketahui bahwa sediaan Suppositoria menggunakan basis PEG memiliki kemampuan disolusi/ pelepasan obat lebih baik dibandingkan dengan basis Oleum cacao. Hal ini karena kelarutan PEG dalam media disolusi …

* * *

(a) (b)

Gambar 1: Struktur epinefrin (a); Struktur norepinefrin (b)

Epinefrin dan norepinefrin adalah hormon yang disekresikan oleh glandula adrenal dan disintesis dari prekursornya tyrosin dengan bantuan beberapa enzim yaitu tirosin hidroksilase, dopadekarboksilase dan dopamine b hidroksilase. …

* * *

If we talk about the election of governor Yogyakarta, we could said that the speciality of Yogyakarta must be eternal which is see outomatis the governor of Yogyakarta must be from the kindship of Kraton Yogyakarta, that is our king, Sultan Hamengku Bowono X.

* * *

Masih belum jelas apakah pemerintah Indonesia mencanangkan compulsory education (wajib belajar) atau universal education (pendidikan dinikmati semua anak di semua tempat). Kedua hal ini jelas sangat berbeda, seperti yang telah dijelaskan pada keputusan internasional, Declaration on Education for All di Jomtien, Thailand, tahun 1990, menegaskan bahwa …

* * *

Pada bulan Maret dan April 2009, salah satu dari wabah influenza H1N1 di Meksiko menyebabkan ratusan kasus dan jumlah kematian. Virus influenza A subtype H1 merupakan subtype dari influenza virus J dan yang paling umum yang menyebabkan influenza pada manusia. …

* * *

Aku biarkan kau sendirian, supaya kau tahu bagaimana rasanya sendirian tanpa aku. Seperti aku yang sendirian tanpa kau. Aku senang mendengarmu memanggil orang lain dengan namaku. Supaya kau juga merasakan betapa malunya aku saat memanggil orang lain dengan namamu. …

* * *

Kalian tahu, aku sama sekali tak berniat menuliskan hal ini, karena selain terkesan melebih-lebihkan diriku sendiri, tulisan seperti ini juga biasanya tidak memiliki akhir yang diputuskan dengan jelas. Tentu saja itu bukan salah kalian. Kesalahan 100% muncul dari dalam diriku sendiri.

Suatu hari, saat aku mengayuh sepedaku dalam senja sepulang kuliah. Aku memikirkan sesuatu yang jujur saja cukup mengganjal di pikiranku. Bagaimana tidak? Beberapa hari yang lalu, seorang temanku memberi sebuah instruksi bahwa aku harus menulis tentang cita-citaku atau kurang lebih tentang mimpi yang aku miliki. Dan mulai saat itu, aku merasa hidupku kurang nyaman. Karena mulai saat itu, aku berpikir, untuk apa aku kuliah? Untuk apa aku mendalami dunia tulis menulis? sebenarnya apa cita-citaku? Apa yang aku impikan?

Menurutku kata “cita- cita” atau kata “impian” bukanlah sesuatu yang main-main. Aku bertekad untuk menuliskan itu dengan benar. Dengan akhir yang bisa aku putuskan. Umumnya, aku tidak terlalu memiliki ambisi berlebihan seperti ingin menduduki jabatan tertentu, memiliki gaji dengan jumlah tertentu. Huh, rasanya tidak ada ambisi yang besar untuk itu, rasanya hanya ingin menjadi seseorang yang sederhana, bahagia di dunia dan akhirat dengan terus berguna bagi orang lain. Sayangnya, impian yang seperti itu terlalu klise, terlalu biasa, dimiliki semua orang, dan aku tak bisa menuliskan impian yang seperti itu lagi. Harus yang lebih spesifik!

Setelah aku pikirkan, aku bisa jadi apapun yang aku mau. Kuliah di Jurusan Farmasi Industri sebuah Universitas terkemuka di negeri ini membuka peluang yang cukup besar untuk bekerja di perusahaan asing atau pun lokal, tentunya dengan gaji di atas lima juta per bulan. Aku bisa membayangkan tipe pekerjaanku di perusahaan nantinya. Bekerja dengan shift pagi, sore atau malam, menjadi kepala bagian produksi atau Quality Control. Bisa juga bekerja selama 24 jam sebagai kepala bagian marketing yang memiliki jadwal sesuai klien dan kebutuhan, berdandan rapi dan membawa mobil mewah kemana-mana. Atau jika ingin mengabdi pada negeri ini, aku bisa menjadi pegawai negeri sipil di BPOM dan rumah sakit dengan gaji yang cukup besar dan terjamin.

Aku juga memiliki kemampuan yang cukup hebat di dunia jurnalistik. Redaksi sebuah majalah selama empat tahun menjadikan reportase dan menulis artikel bukan lagi sesuatu yang menakutkan bagiku. Jika dilihat dari kemampuan menulis fiksi, aku memang masih belajar, tapi rasanya kemampuan itu makin hari makin tajam kuasah dalam cerpen-cerpen yang kubuat. Bukankah aku juga bisa menjadi seorang penulis di majalah atau menuliskan sebuah novel? Pekerjaan ini juga cukup menjanjikan jika aku mau fokus terjun ke dunianya. Dalam hal ini bukan lagi masalah uang, tapi tantangan yang sangat menggairahkan menunggu di dalamnya.

Pengusaha. Kata-kata ini cukup menggiurkan. Aku bukanlah orang yang buta tentang dunia usaha dan bisnis. Aku pernah mencoba membuka usaha kreatif yang cukup komersil sewaktu kuliah, awalnya cukup berjalan dengan baik, sebelum akhirnya sempat macet karena dijalankan oleh para mahasiswa yang mau tidak mau terbentur KKN (Kuliah Kerja Nyata) di luar Pulau Jawa. Sebenarnya tidak terlalu sulit, apalagi dengan gelar Apoteker yang akan aku sandang, sangat mungkin utnuk mendirikan sebuah apotek yang memiliki cabang di mana-mana. Usaha itu hanya butuh tekad kuat dan tahan banting. Keuntungan finansial yang diperoleh juga tak kalah banyak, semua diatur sendiri. Tantangannya juga cukup berwarna, walaupun di akhirat kupikir tak terlalu mudah. Aku pasti bisa menjadi seorang pengusaha sukses dengan semangat yang aku miliki, jika aku mau?

Menggiurkan jika membayangkan semua itu, tapi aku bertanya pada aku yang sebenarnya? Maksudku, “Aku yang tanpa hawa nafsu memiliki banyak harta”. Jika bertanya pada “Aku yang tanpa hawa nafsu memiliki banyak harta”, aku berpikir bahwa aku ingin sekali hidup sederhana dan bahagia. Semua orang pasti mau seperti itu, tapi lebih spesifik lagi adalah, aku hanya ingin menjadi seorang ibu rumah tangga. Dengan seorang suami dan tiga anak lelaki.

Memiliki sebuah rumah kayu yang indah di daerah pegunungan. Menghirup udara segar setiap hari. Menyapu halaman berumput, mengepel lantai kayu. Menyiapkan sarapan. Melihat senyum semua orang di meja makan, dan menunggu mereka pulang dari tempat mereka beraktifitas. Memiliki kebun yang bisa aku rawat dan aku petik buahnya, memiliki kolam ikan dengan gazebo di depannya, tempat aku dan keluargaku sering makan bersama. Menjadi ibu yang bisa mengamati pertumbuhan anak-anakku, menemani mereka belajar, memberikan contoh sikap yang baik bagi mereka. Memiliki keluarga yang sempurna, berkecukupan dunia dan berlimpah pula di akhirat.

Kalian tahu, membayangkan itu lebih menggiurkan bagiku. Hmmm… tapi sekali lagi aku ingatkan pada kalian. Itu semua hanya impian. Impian yang sebenarnya aku tanam dalam-dalam. Mengapa? Karena aku tahu semua itu hanya memiliki peluang 1% terwujud dalam dunia nyataku. Sedangakan hidup yang aku katakan pada bagian lebih awal tadi, memiliki peluang lebih besar untuk terwujud. Atau mungkin tidak akan terwujud keduanya, jika kau mati. Tapi aku tidak akan membahas kematian dalam tulisan ini.

Aku, terutama oleh mamaku, telah dididik sejak kecil untuk bekerja keras. Apalagi jika teringat dengan nasihat Mama, “Perempuan itu harus punya penghasilan sendiri! Nggak boleh hanya minta suami!”. Aku hanya tidak ingin mengecewakan Mama akan impianku yang terakhir tadi. Untuk itu, aku memendamnya dalam list impian yang paling bawah. Aku harus memiliki penghasilan sendiri yang cukup besar, agar aku bebas memberikan uangku pada orang tua. Membiayai kenaikan haji mereka, membuatkan rumah yang nyaman jauh dari keramain kota untuk masa tua mereka, membelikan kebun yang bisa mereka rawat di waktu pensiun mereka. Apakah semua itu tetap bisa aku lakukan tanpa penghasilan yang aku miliki sendiri?

Inilah aku saat ini, melihat dunia nyata yang tak seindah impianku. Mengejar nilai yang sangat baik di bangku kuliah, mengasah bakat yang aku miliki, memperluas jaringan bisnis. Untuk mewujudkan apa yang aku percaya bisa aku wujudkan. Impianku itu, biarlah tetap ada dalam daftar yang terakhir, tidak boleh protes, kuharap ini yang menjadi keputusanku, jalan hidupku.

Triana Candraningrum

Pusat Kota Yogyakarta, 2010.

Minggu, 05 Desember 2010

cerpen merapi

Kawan Sepermainan

“Ceritakan padaku sebuah cerita!” Pintanya.

Lalu aku terdiam. Mengingatnya kembali.

Kalian boleh panggil aku Ade. Dulu orang sering memanggilku Bendot. Sebenarnya rindu juga dipanggil dengan nama itu. Aku juga senang dipanggil dengan nama itu. Semacam panggilan kesayangan dari orang- orang tersayangku. Tapi sekarang bukan lagi. Panggilan itu memang aku rindukan, tapi membuatku sakit setiap kali mendengarnya. Makanya, kalian panggil saja aku Ade.

Kalian pasti tahu Merapi, bukan? Gunung yang paling aktif di dunia itu sempat menjadi pusat perhatian dunia lima tahun lalu. Tepatnya 26 Oktober, akhir 2010.

Kalian tahu, mengapa aku ada di sini? Tempat ini dulu kampung halamanku. Tujuh kilometer dari puncak gunung megah ini. Masih teringat jelas apa yang terjadi di tempat ini lima tahun lalu.

Aku lahir di sini, bersama gunung itu. Bapakku juga, pamanku, sepupuku, begitu juga kakek dan buyutku. Dan aku akan tetap di sini, bersama gunung ini. Dengan caraku sendiri, membersamainya. Menghirup udara dari pohon-pohon besar di sini. Meminum air dari mata airnya. Bermain diantara pepohonan dan pasir di gunung ini. Tanah kelahiranku.

Aku masih ingat sewaktu berjalan di pagi buta, menyambut mentari yang menyembul dari gunung ini. Menyambut dan tersenyum pada gunung yang gagah di mataku. Pasir hitam yang ada di sisinya memantulkan cahaya surya sampai batu- batu yang ada di kakiku. Menemaniku menyusuri jalan berbatu menuju sekolah dasar yang sederhana di kaki gunung ini.

Jujur saja, aku sangat mengagumi gunung ini. Mengagumi keindahnnya yang menyilaukan. Mengagumi keangkuhannya pada keraton dan ratu pantai selatan. Mengagumi raungannya saat sedang marah atau sakit. Aku mengaguminya sampai detik ini. Mengaguminya bahkan setelah yang ia lakukan padaku. Termasuk malam itu.

Merapi berstatus ‘WASPADA”. Aku sudah dengar kabar itu. Aku juga tidak tinggal diam dan langsung menuju kampung halamanku. Di sana sudah berkumpul seluruh keluarga. Aku senang melihat semua berkumpul di rumahku. Melihat wajah mereka yang bercanda riang dalam suasana yang cukup mencekam. Kami memang hanya berkumpul. Tidak segera pindah ke rumah orang lain yang berada di kaki gunung yang lebih bawah. Bukannya malas mengemasi barang-barang yang sulit dikemas atau karena takut meninggalkan sawah, kebun dan hewan ternak yang melimpah di tanah buyutku ini. Bukan pula karena membangkang pada perintah pemerintah yang bubrah, melainkan semata- mata karena kami sudah terbiasa dengan kelakuan teman kami yang satu ini.

Gunung yang cukup terkenal di dunia itu sudah aku anggap sebagai teman. Aku bahkan menganggapnya sebagai manusia. Dia memiliki tubuh dan jiwa, dia juga hidup dan bernafas. Dia memiliki tubuh yang cukup kekar dan gagah, mana mungkin dia tidak marah jika ada yang mencubit tubuhnya atau bahkan berusaha melukai tubuhnya itu. Dia juga memiliki jiwa yang lembut sekaligus tegas. Ia akan bersikap lembut pada orang yang baik padanya, tapi ia juga akan sangat bersikap tegas bahkan mungkin marah pada orang yang berniat buruk dan berusaha memanfaatkannya untuk hal yang buruk.

Ia juga bisa sakit, ia paling sering bersendawa atau terbatuk-batuk. Kalau sudah batuk-batuk seperti itu, aku langsung pulang ke kampung halamanku. Kadang alasannya bukan karena khawatir atau bagaimana, tapi lebih karena aku ingin melihat seluruh keluarga berkumpul di rumahku. Dulu pun aku sempat berpikir untuk berterimaksih pada teman gagahku itu. Aku terkadang senang saat ia sedikit sakit atau menghembuskan nafas panasnya yang membumbung di udara, karena dengan itu seluruh keluargaku akan berkumpul di rumah. Sekedar berjaga-jaga dan reuni keluarga besar kami yang riuh.

Kalian tahu? Rasanya luar biasa saat melihat seluruh keluarga berkumpul dalam satu rumah? Ada anak kecil yang berlarian, para simbah yang hanya duduk diam di kursi sambil melihat anak cucunya duduk lesehan di bawah. Melihat TV atau sekedar mengobrol membicarakan ternak atau harga pasar saat itu. Lalu aku datang, biasanya di malam hari, membuka pintu rumah, disambut seluruh wajah mereka yang tersenyum padaku, menyambutku. Sungguh, euforia yang luar biasa. Yang mampu membuatku bertahan hingga saat ini, mampu membuatku bangun dari tidurku dan bersemangat setiap hari hingga aku tertidur lagi. Hanya kenangan dari wajah mereka. Hanya itu.

Waktu itu sakitnya cukup parah, sepertinya sakit kronis yang menjangkiti tubuh dan jiwanya. Tubuhnya sakit, juga perasaanya. Dia marah dan mengamuk. Dia tak lagi mengenal lawan atau kawan. Dia bahkan tak mengenaliku lagi! Aku juga tak mengenali dia lagi! Aku pun marah padanya saat itu. Baru dua jam aku kembali ke kosanku di tengah kota Jogja. Dia telah merubah statusnya menjadi “AWAS”. Aku sedikit terkejut. Aku melihatnya dari jarak 30 km dari balkon kos-ku.

Aku menatapnya tajam, dia diam saja, bahkan tak menoleh ke arahku. Dia memalingkan wajahnya dan tak membalas tatapan mataku. Saat itu aku tahu, ada yang menyakiti hatinya, dia kesal juga marah. Ingin balas dendam, tidak lagi seperti temanku. Bukan teman yang menemaniku bermain saat kecil dulu. Dia juga sudah tumbuh dewasa sepertiku. Dia sekarang sudah bisa sedih, bisa marah, dan balas dendam.

Sungguh sakit rasanya jika kalian merasakan juga. Kehilangan sahabat yang kalian kenal sejak kalian lahir. Sahabat yang selalu kalian lihat saat bermain, tidur, mandi, mencuci pakaian, makan, dan saat kalian pergi berpetualang. Lalu tiba-tiba sahabat itu berubah, pergi dan tak ingin menyapamu lagi! Aku kecewa. Aku tahu ia menyimpan sesuatu di hatinya. Aku ingin mendengarnya mengeluh seperti biasa. Tapi ia memilih menyimpannya, membiarkan emosinya memuncak terhadap semua orang. Saat itu, waktu aku melihatnya dengan mata telanjang, aku sudah tahu, aku mulai gemetar. Mulai sadar, kali ini dia tidak main-main.

Aku segera turun dari balkon, mengambil tas di kamar. Pukul 15.48. Aku ingin melihat keluargaku di sana. Aku tahu mereka tidak akan turun hanya dengan batuk itu. Mereka pasti tidak menyadari kemarahan yang dipendam Merapi jika tak melihat wajahnya. Meraka pasti tidak tahu sehabatku itu sedang murka. Mereka pasti masih di rumah. Aku melaju dengan kecepatan 80-100 km per jam. Menuju rumahku, menuju keluargaku.

Sempat aku dihalangi beberapa petugas yang menjaga di pinggir jalan. Aku menolak, ku katakana pada mereka keluargaku masih di atas. Mereka tetap melarangku, menghardikku. Aku ngotot di atas motor, tak juga didengarkan, katanya demi keselamatanku. Masa bodoh! Kataku. Mereka bilang, biar mereka saja yang menjemput mereka. Bagaimana caranya jika tanpa aku, mereka bahkan tak tahu dimana rumahku. Aku beradu mulut, dianggap keras kepala dan bodoh. Tapi aku tahu bukan mereka yang sanggup menghalangiku. Satu- satunya yang bisa menghentikanku hanya sahabat kecilku, Merapi, yang sedang mengamuk.

Aku terus melaju motor menuju rumah, tak menghiraukan mereka mengikutiku dari belakang atau tidak. Hanya ingin melihat mereka, keluargaku selamat. Entah hanya perasaanku saja yang kalut atau bagaimana. Aku merasa suasanya di sekitarku mulai gelap, entah mendung atau abu vulkanik yang membumbung. Saat aku mendengar bunyi gelegar besar yang diperdengarkan oleh benda megah yang sedang kudaki. Aku tidak berhenti, justru semakin kencang memaju motorku. Tiba- tiba aku disergap asap putih layaknya asap pembakaran sampah, melihat beratus meter di depanku asap hitam- kelam dengan ketinggian puluhan meter siap menggulung tubuhku. Aku menghentikan motorku, masih teringat keluarga yang ada di atas sana. Tapi rasa takut merasuk dalam dadaku, berdesir, gemetar, aku mungkin sudah gila berada di sini. Aku seperti melihat tangan-tangan sahabatku itu, tangan-tangan malaikat Izrail yang ingin mencabut nyawaku. Akhirnya aku bisa merasakan sangat dekat dengannya setelah sekian lama berteman. Merasakan sedikit hawa hangat yang mulai menyentuh kulit dan mataku, perih sekali. Tak sempat lagi berpikir, turun dari motor dan masuk ke lubang kecil pinggir jalan. Sangat cepat, dan semua menjadi gelap.

Malam itu ia meluapkan amarahnya, menyapu rata kampungku, keluargaku.

Saat terbangun, aku telah berada di sebuah ruangan yang sangat ramai. Samar-samar kulihat banyak orang berlalu lalang di sekitarku. Semua yang kulihat merintih kesakitan. Tubuhku tak terasa ada di tempatnya, sulit menggambarkan rasa sakit waktu itu. Aku mengingat kembali yang terjadi padaku. Aku ingat saat melompat ke dalam selokan kecil, merangkak buta ke dalam hingga tak melihat cahaya dan terpejam.

Aku masih ingat tentang keluargaku. Aku masih merindukan mereka, wajah meraka. Bagaimana nasibnya?

Aku masih di tempat yang sama. Sampai dikunjungi keluarga jauh di Purwakarta. Belum tahu kabar mereka. Waktu aku dengar sahabatku itu mengamuk lagi mengibas-ngibaskan nafas panasnya ke segala arah. Meminta 120 nyawa manusia. Belum juga tahu nasib mereka.

Luka bakar 30% di sekujur tubuhku. Hingga aku tahu, kehilangan 12 anggota keluarga. Termasuk orangtua, saudara, sepupu, keponakan, simbah, dan teman kampungku. Yang wajahnya pun tak bisa dikenali lagi. Hanya suasana terakhir saat mereka menyambutku pulang. Itu saja. Kini aku hidup, dengan kenangan wajah mereka, euforia saat membuka pintu, semangat saat melaju motorku, juga kenangan pelukan hangat dari keponakana kecilku.

Kini aku berdiri di mantan kampung halamanku. Tapi bukan lagi untuk menemui keluarga tersayangku. Kini hanya dengan seorang temanku dalam rangka pengamatan. Siapa lagi jika bukan kawan lamaku. Bukan lagi sebagai mahasiswa gila yang menerjang- menantang nafas panas kawanku itu, melainkan meneliti lebih dalam sifat asli teman yang kutantang dulu.

Aku melihat wajahnya, dari sela-sela pohon tempatku berdiri. Tidak lagi seperti lima tahun lalu. Ia tersenyum padaku, atas tingkah jahilnya lima tahun lalu. Ia tak perlu minta maaf padaku, bahkan aku tak pernah menggangapnya bersalah. Aku pun membalas senyumannya.

“Ayolah, ceritakan padaku sebuah cerita!” Pintanya lagi.

Aku tersenyum melihat wajah teman yang sedari tadi berdiri di sampingku. Menungguku bercerita tentang kejadian lima tahun lalu. Aku menggeleng. Kembali menyusuri punggungmu yang tegap. Tak ingin menceritakan hal buruk tentangmu. Biar hanya kalian yang tahu.

Jogja,

Nov 2010

cerpen


“Aish…”

Waktu itu kau katakan bahwa kau telah putus dengannya. Si lelaki keturunan Brunei Darusslam itu. Tapi saat itu juga, setelah makan malam, kau tancapkan gas hingga 100 km/jam hanya karena si lelaki Brunei itu mengobrol dengan sahabat kecilmu yang juga duduk di sebelahmu. Lucu!

Lalu malam itu juga kau mendiamkan sahabatmu itu hingga berhari-hari sampai berbulan-bulan. Anehnya lagi, kau dengan sikapmu yang palsu, berpura-pura tidak terjadi apa-apa, bahkan tak ingin menjelaskan apapun pada sahabatmu itu, hingga kau menemukan mainan lelaki yang baru lagi.

Kali ini, sudah diduga, kau tak akan pernah mengenalkan lelaki Indonesia tulen yang kaya raya itu dengan sahabatmu lagi. Bukankah kau cukup pintar untuk belajar dari pengalaman?

Sampai akhirnya kau berlebihan. Demi si lelaki tulen yang gedongan itu, kau melepaskan semuanya. Melepaskan teman- temanmu, sahabatmu, orang tua, agama, norma, bahkan pakaianmu. Kau bukan lagi seorang pengahafal surah Yasiin seperti yang dikenal oleh si Brunei. Kau bukan lagi sahabat dari sahabat polos yang tak tahu jalan pikiran sempitmu. Kau bukan lagi seseorang yang dicintai oleh semua orang. Yang mencintaimu hanya dia, lelaki bermulut penuh cinta bagaikan busa di lautan.

Lalu kau sekarang di sini? Menyedihkan.

Duduk di sebuah ruang sempit berukuran 2 x 4 meter dengan lampu temaram tanpa tegangan listrik stabil. Ditemani sebuah kursi, meja, lemari kayu, dan dipan besi dengan kasur tipis serta bantal lapuk di atasnya. Berantakan. Berpakaian selembar kain yang bermodel layaknya baju mainan Barbie anak jalanan yang tak menutupi aurat, seperti yang sering kau kenakan dulu.

Sesekali mengerdipkan kelopak matamu perlahan, tersenyum dan datar kembali. Mulai hari itu, saat kau memutuskan menaggalkan semuanya. Kau merasa mendapat hidup yang baru. Kau menikmati segala kenikmatan dunia yang kau inginkan. Tak ada lagi sahabat kecil yang sekamar denganmu dan yang selalu mengingatkanmu. Membuangnya layaknya sampah telah jadi keputusanmu sejak hari itu.

Sampai dua tahun setelah kau menempuh hidup barumu yang tak resmi. Orang tuamu bahkan kekeringan air mata karenamu. Kau bertengkar hebat dengannya. Di pinggir jalan, memilih sebuah jembatan yang cukup sepi. Berkata perlahan padanya bahwa kau ingin dinikahi secepatnya. Mana mungkin, lelaki gedong yang berengsek seperti dia bersedia? Menikah dengan gadis tak perawan dan tak beragama lagi sepertimu? Mustahil.

Beradu mulut, yang dibarengi air yang memaksa untuk keluar dari sela bola matamu. Dia ngotot, begitu juga kau. Hingga berkahir dengan sebuah keputusan yang membuatmu tertunduk. Mengiyakan permintaan bejatnya sekali lagi, meniadakan penyebab dari pernikahan kalian pada dokter kandungan ilegal.

Mulai saat itu, sakit yang teramat sangat kau rasakan dalam hidupmu, mengiris-ngiris rahim dan kemaluanmu tanpa jeda. Meminta pertanggungjawabanmu sebagai wanita yang masih punya air mata untuk ditumpahkan. Tak ada lagi kehidupan untukmu. Tak ada orang tua yang ada di sampingmu. Kau bahkan tak tahu bagaimana reaksi mereka jika kau menceritakan yang sebenarnya. Tak ada lagi lelaki gedong yang kau banggakan. Hanya ingin menemui sahabatmu itu. Hanya terpikir dengan sahabat yang kau buang dua tahun lalu. Hanya ingin melihatnya, memeluknya, menangis di depannya, menatap matanya yang teduh, sekamar lagi denganya dan bercerita menjelang menutup mata di sampingnya.

Sahabatmu tak terdeteksi batang hidungnya. Sahabat yang kau pilih sejak sekolah menengah itu dengan mudah kau tinggalakan demi lelaki yang tak jelas lari kemana. Demi hidup baru yang kau anggap lebih menyenangkan. Lalu kini kau mulai mencarinya. Sahabat yang ada setiapa kali kau sedih atau suka. Kau mengingat memori lama tempat tinggalynya, tapi entah sudah pindah kemana, tak ada nomor hape, tak ada account di jejaring sosial. Kau ketakutan, sendirian. Di dunia yang tak sama sekali kau kenal.

Hingga kau lelah. Ingin sekali menumpahkan segala sampah yang ada pada dirimu. Ingin sekali bertemu dengannya hingga setiap malam bermimipi tentangnya. Mimpi tentang masa lalu kau dan dia saat tertawa berjalan di koridor sekolah saat kau lulus. Tertawa saat kau dan dia tidur dia atas satu dipan melihatnya menggambar burung jelek di atas udara. Tertawa saat kau dan dia makan bersama hanya dengan sambal di tenpat perantauan. Kau merindukan itu. Kau ingin bertemu denganya, hanya dia, sahabatmu.

Kau ingat saat kau mengirimkan sms yang terakhir untuknya. Bahwa kau ingin dia tak lagi mencampuri hidupmu. Bahwa kau tak lagi ingin satu kos dengannya. Dia mencarimu, di kampus, di kos, di setiap rumah teman dekatmu. Kau melihatnya, mencarimu dengan kalang kabut di kampus, bersembunyi di kejauhan, kau menghindar. Kau melihatnya saat ia bertanya pada temanmu di depan pintu, bersembunyi di balik jendela, kau menghindar. Kau menerima, pesan e-mail yang berulang kali dia kirimkan pada account-mu, kau hapus dengan sadisnya.

Kini semua orang berubah menjadi dia di matamu, “Aish, Aish!!”, kau panggil nama itu pada semua orang yang kau temui. Wajahnya ada dimana-dimana setiap kali kau membuka mata. Belum lagi suara tanggis bayi yang sering kau dengar di kamarmu sejak kau menghancurkannya. Atau darah yang kau lihat mengalir dari selangkanganmu. Membuatmu lemas.

Hingga kau ada di sini. Kau lelah mengatakan bahwa kau tak gila. Kau hanya ingin bertemu Aish. Hanya di yang bisa menghentikan suara bayi yang menangis di kamarmu. Hanya dia yang bisa membantumu membersihkan darah yang berceceran di tubuhmu, hanya dia yang bisa memelukmu dan menghapus air matanmu. Kau hanya ingin bertemu Aish dan membiarkannya melihat keadaanmu. Membiarkannya kembali padamu lagi, seperti dulu. Kau mengatakan itu berulang kali pada mereka yang menyeretmu, mengikat tangan dan kakimu, menyakiti tubuhmu dengan jarum suntik, kau telah mengatakannnya berulang kali, mereka tetap tak mau dengar.

***

Aku masih ada di sekitarmu, aku melihatnmu menangis di jembatan malam itu. Aku tahu sesuatu yang selama ini aku takutkan benar terjadi padamu. Aku melihatmu dari balik kaca mobilku yang berjarak 10 meter dari kau dan Edi. Aku menangis, bersamamu. Merasakan kesendirianmu saat itu. Aku ingin menemuimu, saat itu juga. Ingin memelukmu, menghapus air matamu dan menghajar Edi di depan matamu. Mengatakan padamu untuk meninggalkan lelaki sialan itu.

Tapi saat itu aku teringat apa yang kau katakana padaku. Aku ingat saat melihatmu melintas di balik tembok dan menjauhiku. Teringat saat melihat bayanganmu yang ada di balik jendela. Teringat betapa kau telah berbuat kejam padaku. Membuatku hilang tanpa arah, kalang kabut, bingung dan sendirian. Sedangkan kau bersenang-senang dengan lelaki itu. Lelaki yang juga pernah meniduriku. Kenapa kau tak percaya padaku, aku benci padamu saat itu. Saat kau menuduhku berbohong dan mengira aku ingin merebutnya dariku. Aku benci padamu!

Aku ingin kau menderita, seperti aku. Aku ingin kau merasakan kesendirian yang mengeitariku setiap kau tidak ada. Aku ingin kau menderita, bahkan lebih menderita dibanding aku.

Aku senang kau hamil, karena aku tahu lelaki itu pasti akan meninggalkanmu. Menyisakan sakit yang luar biasa pada tubuhmu. Lalu saat itu mulai aku yang kan melukai jiwamu. Aku melihatmu saat kau mencariku di rumah lamaku. Aku biarkan kau sendirian, supaya kau tahu bagaimana rasanya sendirian tanpa aku. Seperti aku yang sendirian tanpa kau. Aku senang mendengarmu memanggil orang lain dengan namaku. Supaya kau juga merasakan betapa malunya aku saat memanggil orang lain dengan namamu.

Aku ingin kau merasakan deritaku. Saat mobil yang kukendarai meremukkan tulang-tulangku. Itu Karena aku memikirkanmu, memikirkan bagaimana nasibmu tanpa aku. Memikirkan bagaiman nasibku tanpa kau.

Aku ingin melihatmu menderita terbaring sendirian tak berdaya. Dengan tetap memikirkanku. Seperti aku yang memikirkanmu hingga akhir nafasku. Aku ingin kau tak akan bisa melihatku hingga akhir nafasmu pula. Seperti aku yang ingin sekali melihatmu hingga ajal menjemputku.

Aku senang, karena kau telah mengalami seluruih penderitaan yang aku alami. Sampai kapanpun kita kan mengalami hal yang sama dalm hidup ini. termasuk juga saat ini. Aku ingin kau mati tidak tenang. Seperti aku yang kini menemanimu di kamar ini. Duduk di sampingmu dalam satu dipan seperti dulu. Walau kau tak merasakan. Menatap wajahmu yang pilu, walau kau tak bisa melihatku. Aku ingin kau mati, mati tidak tenang karena tak bisa melihatku lagi. Karena hanya itu yang bisa memebuat kita kembali bersama, seperti dulu. Sahabat sampai mati.

Jogja, Des 2010