BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 21 Maret 2011

review novel-Q

ini adalah sedikit review noel pendukku dari seorang teman,,,silahkan dibaca...semoga bermanfaat terutama untuk aku sendiir...hhheheehh^^



Menyenangkan. Membaca cerita tentang perjalanan seorang menemukan hidayah adalah hal yang menggembirakan. Menyadari bahwa betapa Allah masih memberi kita hidayah, nikmat iman dan islam. Selalu bersyukur untuk itu. Selalu membangkitkan rasa haru. Subhanallah...

Novel yang terakhir saya baca, Martin, karya Ana Izzihni adalah sebuah novel pendek. Atau lebih tepat disebut novelet. Bercerita tentang perjalanan seorang Martin-remaja sma asal jakarta, yang pindah ke jogja dan akhirnya masuk islam. Pergulatan pemikiran martin menjadi tema sentral, sampai akhirnya sang tokoh masuk islam. Sebenarnya ini bukan sebuah kejutan, karena cerita dimulai dengan flashback –adegan martin yang gembira lantaran ia telah bersyahadat dan kembali ke cerita masa-masa awalnya.

Ada beberapa hal yang menjadi perhatian, selama membaca novel ini.

- Logika cerita.
Kisah yang dibangun pada awalnya sangat baik. Dua tokoh sentral yang bertemu di kosan. Penggambaran kosan sangat nyata. Namun yang perlu digaris bawahi –sang tokoh utama datang dengan kekecewaan terhadap sosok ayah. Maka alangkah lebih enak kalau ditajamkan pada sisi ini, sang tokoh antagonis –ayah diikutkan dalam pergulatan pemikiran dan hidup martin.
Seharusnya tidak logis kalau ada seorang kristen, baru pindah ke jogja, baru sadar dengan kehidupan keislaman-yang seharusnya sudah menjadi perhatian buatnya sejak lama, lagsung berkomentar macam2 tentang agamanya. Ini terutama terjadi di bab 4. Jadi seperti tidak natural. Lebih natural, jika dibuat bahwa kesedihannya atas kondisi ayah dan lingkungan spiritual kristennya-lah yang membuat dia kecewa dan meragukan agama itu. Bukan dipahami secara langsung dari tekstual, karena ini sulit terjadi. Biasanya orang kecewa dulu dengan sesuatu kondisi, baru dia merujuk pada tekstual. Kalaupun ia ‘tersadarkan’ secara tekstual, harus ada karakter yang memang sudah menggantung sejak lama, yang semakin menguatkan orang itu untuk melakukan hal besar seperti meragukan agamanya sendiri dan lalu pindah agama. Dan seharusnya dalam novel ini tanda tentang karakter itu terjadi secara berulang. Karakter itu seperti keingintahuan dan pemberontak. Sepertinya martin memang sudah digambarkan cukup baik dan sesuai, Cuma di bab 4 itu terlalu dini untuk meragukan agamanya sendiri. Ya... rasanya memang begitu.

Ada satu kisah menarik tentang mualaf. Ini saya baca dari buku autobiografi tokoh mahasiswa 80an. Judulnya mencari islam. Kisah seorang miranda-yang tadinya adalah remaja ceria, penari dan dari keluaga seniman, bisa masuk islam, hanya lantaran tidak sengaja meminjam buku sahabatnya berjudul ‘wawasan islam’. Kisah masuk islamnya diawali dengan keraguan tentang ketuhanan-mirip dengan yang dialami martin, hanya saja bercampur dengan keingintahuan dan karakter miranda yang memang nakal dan keras kepala, juga kekecewaan terhadap keluarga yang sudah sangat hambar, hanya neneknya yang punya cerita kekeluargaan dengan dia.
Nah, jelasnya, cerita martin masuk islam, yang menjadi plot utama novel ini, meskipun ada juga anak ceritanya, seperti cerita tara, seharusnya dibuat selogis mungkin. Dalam hal ini, menyelami kondisi pribadi sang martin harus dilakukan. Istilahnya penulis harus menanggalkan kepribadiannya, pengetahuannya, karakternya, dan bergabung dalam pribadi tokoh ceritanya, totally, secara pengetahuan, karakter dan keinginan. Dengan cara ini, cerita menjadi cerita yang natural, hadir dari pergulatan pemikiran dan perasaan tokoh dengan kondisi yang terbangun di sekitarnya –tentunya sebenarnya adalah kondisi fiktif yang dibangun oleh penulis.

- Alur Cerita
Ini adalah cerita dengan alur mundur. Flashback dari kejadian akhir. Memang dengan cara ini rasa ingin tahu menjadi muncul. Namun ada juga resikonya. Jika kondisi setelah kondisi akhir ini tidak jauh berbeda dari dugaan awal, maka pembaca akan jadi tidak bersemangat lagi. Atau dalam kata lain, pembaca akan mudah menebak apa yang akan terjadi, sehingga penulis seperti malah mengikuti pikiran pembaca, bukan pembaca mengikuti pikiran penulis.

Nah, dalam hal ini, cerita martin dihidangkan dengan cara yang sama. Setelah memaparkan kejadian akhir tentang martin yang masuk islam, kita langsung diberi hidangan tentang martin yang mempertanyakan agamanya, kecewa dengan ayahnya, dan merasa kaget dengan keislaman dan kebaikan orang-orang sekitar. Dalam hal ini, sebagai pembaca kita akan langsung bisa menebak apa yang akan terjadi setelahnya. Martin pasti masuk islam dengan mudah. Nah, dan itulah memang yang terjadi.

Akan lebih baik, jika penulis memberikan pemaparan yang jauh dari kejadian akhir yang muncul. Atau bertolak belakang sama sekali. Misalkan, meskipun martin kecewa dengan banyak hal tentang kenyataan ayahnya-yang mewakili kenyataan agamanya yang dulu, martin tetap menyimpan hubungan emosional yang kuat dengan agama itu. Misalkan ia tetap yakin bahwa agama kristen itu romantis, bahwa kristen itu damai dan menenangkan. Bahwa yesus menyentuh kesadarannya yang paling dalam tentang kemanusiaan.

Namun, kenyataan bahwa ayahnya demikian bengis, dan keluarganya yang hancur, dan ada kedamaian di luar sana ketika adzan, itulah yang membuatnya ragu, dan akhirnya mempertanyakan kebenaran agamanya, dan akhirnya membawanya pada kebenaran yang hakiki. Intinya bahwa secara keseluruhannya, sebuah cerita adalah rankaian konflik. Cerita tanpa konflik adalah hanya merupakan narasi suatu keadaan. Raja sakit dan pangeran gembira. adalah narasi. Pangeran gembira karena raja sakit, nah, inilah konflik.

Pada cerita ini, penulis sangat baik memberi kejutan dengan meninggalnya sang ibu dan sekaligus surat yang diberikannya. Mengetahui bahwa ibunya adalah korban kristenisasi menjadi fakta yang memperkuat dugaan bahwa martin memang seharusnya kecewa dan masuk islam. Namun ada dugaan lain yang muncul dengan fakta ini. jika ibunya memang terpaksa masuk islam, seharusnya ini sudah tercium sejak awal. ibu yang terpaksa menjalani hidup, akan bersikap di luar kebiasaan ibu umumnya. Dan ini seharusnya ditangkap secara indrawi oleh martin sejak awal. Namun dalam kisah ini, cerita sang ibu tidak banyak dibahas.

Saya punya teman, teman sd yang akhirnya-belakangan saya tahu- sudah masuk islam. Ia, seperti juga martin adalah seorang nonmuslim. Ibunya memang terpaksa memeluk hindu, karena sang ayah menikahinya. Namun ceritanya menjadi beda, karena teman saya itu sudah lama tahu bahwa ibunya memang terpakasa masuk hindu. Teman saya itu, waktu saya sd dulu, sudah tahu bahwa sepupunya islam, neneknya islam, bibinya islam, hanya dia dan keluraganya hindu. Ia bahkan tahu bahwa ayahnya sering memaksa ibu untuk tidak solat, dan akhirnya memaksanya pindah agama. Ini membuatnya sering berpikir, dan akhirnya waktu pelajaran agama ia sering ikut pelajaran agama islam-aneh kan? Seperti juga martin. Kalau kenyataan ini dipahaminya dari awal. akhir dari kisah teman saya itu adalah ayahnya meninggal, yang entah karena apa saya tidak tahu. Beberapa waktu setelahnya ia, beserta ibu dan adiknya masuk islam bersama-sama. Alhamdulillah.

- Gaya penceritaan dan Penokohan.
Sudut pandang yang diambil oleh penulis adalah sudut pandang orang pertama. Ini sangat baik untuk novel jenis ini, yang kebanyakan mengeksplor pemikiran dan perasaan sang tokoh. Pemilihan kata dan penyusunan kalimat menunjukkan bahwa novel ini memang menyasar kalangan remaja.

Pada pembukaan dan hingga beberapa bab pertama tampak bahwa penulis sangat menjiwai lingkungan dan karakter tokoh, sehingga gaya penceritaan yang diambil sangat menyenangkan. Terutama pada persahabatan antara martin dengan bayu. Ini adalah capaian luar biasa, karena penulis yang saya ketahui adalah seorang perempuan dan datang dari lingkungan yang banyak perempuannya-fakultas farmasi, namun kebanyakan tokoh yang diceritakan dan menjadi sangat esensi di novel ini adalah laki-laki (martin, bayu, ayah, fa’i). Bahkan ada tokoh yang diceritakan sangat maskulin –fa’i, yang memberi respon kejengkelan dengan cara menjotos, dan hobinya adalah balapan. Ini yang disebut dengan dunia fantasi penulis adalah di luar batas.

Penekanan yang perlu adalah pada penokohan martin yang seharusnya lebih kritis, sering bertanya, berdiskusi, dan tidak begitu saja menerima kebenaran islam. Seharusnya ada tanya juga saat sang tokoh mendapat kebaikan dari orang-orang sekitar. Ada tanya pula ketika ia dapati banyak orang islam di sekitarnya tidak maju. Bukan begitu saja menerima. Namun justru dengan tanya itu yang akhirnya selalu dijawab dengan hal-hal benar, yang membuatnya mengkutub pada satu pilihan, yaitu masuk islam.

Tokoh ayah sebaiknya lebih dikontraskan. Tidak hanya sebagai pendeta yang kalah dengan keluarganya, namun lebih dari itu, pekerjaannya, penghasilannya, juga sikapnya terhadap kenakalan anak-anaknya. Perlu juga mengiringi kehidupan martin selama di jogja. Bukan hanya muncul saat menelpon memberi tahu ibu terkena jantung.

Tokoh bayu yang dapat ditangkap adalah seorang alim dan zuhud. Ini sudah sangat melengkapi kehidupan martin. Namun sebagai seorang yang ideal dalam novel ini, seharusnya akan lebih dramatis, jika ia disetting menjadi korban. Korban ketidak dewasaan martin, korban saat martin mendebatnya tentang islam yang pasif. Korban karena ia juga tidak punya jawaban saat martin menyudutkannya. (tentu untuk ini kita harus memunculkan konflik) Namun bayu menjawab dengan sikapnya, jalan hidupnya, dan keislamannya. Baru ia bisa bicara bahwa tuhan ada di sini, di dalam dada, lebih dekat dari urat nadi. Nah, Ini akan lebih hebat.


- Ending
Cerita berujung pada masuk islamnya martin, yang menurut saya sangat majis. Endingnya benar-benar merubah cerita menjadi sebuah cerita horror, karena Fai yang datang ke dunia nyata padahal sesungguhnya ia sudah mati. Cukup terhenyak mendapati ending yang sepertinya sangat di luar dugaan, tapi sebenarnya sudah terjawab dari awal. Kenyataan Martin akan masuk islam sudah diketahui, namun caranya, ini yang sungguh di luar kepala.

Alangkah lebih baik kalau detil masuk islamnya martin dibuat menjadi lebih dramatis-jika ia dibuat menjadi ending (kecuali kalau setelah martin masuk islam masih ada cerita lagi). Karena setelah martin masuk islam cerita usai, maka cerita masuk islamnya harus detail dan dramatis. Dan menurut saya di bagian ini ada hal yang hilang, yaitu kondisi di masjid saat martin syahadat. Ini bisa dibuat lebih dramatis dan detil juga logis.

Overall, seperti yang saya sebutkan di awal tadi, cerita tentang perjalanan hidayah memang selalu mengguggah. Dan ini yang saya dapati setelah membaca Martin. Novel tentang perjalanan remaja yang masuk islam akan sangat bermanfaat untuk remaja Islam saat ini yang digempur banyak informasi negatif, terutama yang membawa arus liberalisasi dan pluralisme. Semoga kita selalu dalam hidayahNya, dan bersyukur dengan semua yang telah Allah berikan... amin..(Ashif Aminullah Fathan)

0 komentar: